Minggu, 24 Oktober 2010

BALIA : Memaknai Sebuah Estetika Tubuh Dalam Konsep Tari

Tubuh manusia telah menjadi tari, begitu dia berjalan menghadapi dunia luar yang adalah peta bergerak bagi berbagai simpul kepentingan dan konflik. Sudah sejak lama manusia begitu tergoda pada tubuhnya sendiri. Melalui berbagai gelombang peradaban, godaan itu menggiring manusia mencari bayangan sakral serta kepuasan lewat tubuhnya sendiri. Tubuh manusia adalah medan perang dengan nilai yang bergerak didalamnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan, ikon, ras, ideologi dan agama.

Tubuh manusia tidak hanya untuk berdiri dan berjalan, tetapi juga bisa dan sering gemetar. Tubuh yang gemetar inilah melahirkan beribu ragam gerak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jika biasanya kita melihat tubuh yang gemetar biasa saja, tetapi di Sulawesi Tengah tubuh yang gemetar ataupun kesurupan menjadi sumber dari lahirnya gerak-gerak tari.

Beragam upacara-upacara adat yang sakral terdapat di wilayah ini, menganggap bahwa tubuh yang gemetar atau kesurupan melambangkan keindahan, dinamisasi tubuh dan jika diolah dalam sebuah kajian pertunjukan panggung (performance art) maka dapat ditemui eksotika tubuh yang sangat indah karena tubuh yang mengalami langsung kegelisahan menguasai posisi, yang terus menatap setiap gerakan dan tindakan. Dalam proses sebuah penggarapan tari di Sulawesi Tengah (khususnya etnis Kaili) menggali sumber gerak dari tahapan upacara adat penyembuhan yang telah turun temurun dari leluhurnya. Bagi masyarakat Kaili dikenal suatu upacara adat penyembuhan penyakit yang disebut Balia yang menjadi sumber inspirasi gerak dari beragam pertunjukan tari yang telah diciptakan oleh beberapa koreografer di Kota Palu.

Membahas tentang Balia, tidak bisa setengah-setengah karena memiliki keterkaitan antar satu dengan yang lainnya. Balia dan tari pun tidak bisa dipisahkan, karena tanpa adanya gerak tari upacara Balia menjadi tidak menarik. Balia mengutamakan estetika dan eksotika tubuh dalam setiap gerakannya. Tubuh cenderung menjadi “tubuh mitos”, yang membiarkan dirinya terus berkembang melalui tema-tema mitologi setempat.

Pengertian Balia ialah tantang dia (Bali = tantang, ia/iya = dia), yang artinya melawan setan yang telah membawa penyakit dalam tubuh manusia. Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu untuk memberantas atau menyembuhkan penyakit baik itu penyakit berat maupun ringan melalui upacara tertentu. Peserta atau orang-orang yang terlibat dalam upacara (pesakitan) disebut memperata dengan pengertian bahwa memperata adalah proses awal untuk menyiapkan diri dan menerima kehadiran makhluk-makhluk halus kedalam tubuhnya. Masuk atau tidaknya makhluk-makhluk tersebut ditentukan oleh irama pukulan gimba (gendang), lalove (seruling) yang mengiringi jalannya upacara ini. Karena itu, agar semua peserta balia bisa kesurupan maka irama gimba, lalove dan gong itu harus berubah-ubah dan bersemangat hingga nantinya peserta balia tersebut akan melakukan gerak-gerak tarian yang kasar, cepat dan tak beraturan dalam kondisi kesurupan. Pemimpin upacara ini ialah seorang dukun yang biasa disebut Tina Nu Balia yang berpakaian seragam terdiri atas buya (sarung), siga (destar) dan halili (baju dari kain kulit kayu), namun saat ini pemimpin upacara balia lebih sering menggunakan baju model kebaya.

Upacara Balia ini terdiri atas 3 macam dengan tingkatan prosesi yang berbeda-beda :

1. Balia Bone

Balia bone merupakan tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yang diibaratkan sebagai prajurit kesehatan yang besar dan banyak seperti tumpukan pasir (bone) yang sanggup memadamkan api. Dalam upacara ini tidak terlalu banyak memerlukan peralatan upacara adat dan prosesi penyembuhannya pun tidak memakan waktu yang lama. Balia ini biasanya diperuntukkan untuk kalangan bawah atau yang penyakitnya tidak terlalu berat serta tidak merisaukan masyarakat setempat. Pemimpin upacaranya pun hanya terdiri atas satu orang saja.

2. Balia Jinja

Balia jinja diidentikkan dengan gerakan atau posisi melingkar (round dance) yang melibatkan para pengunjung atau orang-orang yang sedang menyaksikan upacara balia tersebut turut terlibat dalam upacara ini yang dibarengi dengan nyanyian dari si pesakitan atau penderita. Walaupun yang memimpin upacara ini hanya satu orang saja, namun yang terlibat dalam prosesi upacara ini sudah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan balia bone.

3. Balia Tampilangi

Balia tampilangi diartikan sebagai pasukan yang bergerak turun secara cepat dari kayangan. Balia ini merupakan tingkatan tertinggi dari upacara keseluruhan upacara Balia, dianggap paling sakral dan bernilai magis karena didalamnya termuat keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta memiliki tahapan khusus dalam proses penyembuhan. Tahapan tersebut dibagi atas dua yang bisa dilaksanakan bersamaan secara bergantian atau bisa pula dilaksanakan salah satunya saja.

a. Moraro

Moraro adalah salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi, suatu upacara adat penyembuhan bagi masyarakat Kaili dengan cara menombak tumbal (Noraro). Dalam rangkaian Upacara Adat Moraro ini dibagi dalam 9 tahapan yaitu :

1. Pamulana, atau awal dari keseluruhan upacara ini dimana semua penari mendekati pesakitan yang akan diupacarakan.

2. Mendopi, artinya menghibur pesakitan.

3. Nosive, yakni memercikan air kepada pesakitan agar diberik kekuatan dan mampu mengikuti jalannya upacara Moraro.

4. Notaro, yaitu gerakan kasar dengan mengehentak-hentakkan parang (guma) untuk mengusir penyakit dari dalam tubuh pesakitan.

5. Noparemba, yakni proses sando (dukun) dan para penari memanggil para roh.

6. Neronde, artinya menyambut para roh yang menyebar penyakit.

7. Noraro, artinya menombak tumbal. Bermakna bahwa penyakit telah dibunuh dan akan pergi jauh dari tubuh si pesakitan. Harapan yang terkandung didalamnya bahwa sang pesakitan akan pulih dari penyakitnya dan kembali sehat seperti semula.

8. Norumuta, dimana para penari membuat lingkaran kecil mengeremuni tumbal yang telah ditombak.

9. Mouramo, bermakna mengembalikan penyakit kepada para roh sekaligus sebagai penutup dari upacara Moraro.

Namun sebelum memasuki proses penyembuhan dalam 9 tahapan tadi maka dilaksanakan terlebih dahulu upcara Moragi. Moragi adalah salah satu bagian dari upacara Moraro, dimana para gadis-gadis membawakan beras kuning, hitam, merah dan hijau yang dibentuk seperti bintang, pelangi maupun tombak yang kemudian diletakan dihadapan si pesakitan dan nantinya sando pun bisa menentukan penyakit apakah yang diderita oleh si pesakitan tersebut. Beras-beras tersebut memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada To Manuru atau penguasa bumi dan langit. Setelah sando memilih beras mana yang dipilih, maka gadis-gadis tersebut mulai menari dengan memakai kipas yang diringi oleh gendang dan lalove.

Pemimpin (sando) dalam upacara ini disebut Bayasa yang berfungsi sebagai pengobatan dan penyembuhan orang sakit. Bayasa atau bisa diistilahkan sebagai gender ketiga (transgender), dimana kaum lelaki berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Upacara adat Moragi ini untuk menentukan penyakit apa yang diderita oleh pesakitan dan yang berperan penting disini adalah Bayasa tersebut dimana merekalah yang dapat mengetahui penyakit apa yang sedang diderita oleh pesakitan dan dapat menyembuhkannya. Bayasa ini terdiri atas 6 orang yang menari bergerak lincah mengelilingi si pesakitan tersebut.

b. Salonde

Salonde merupakan salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi dan kedua jenis balia lainnya. Salonde bagian yang selalu terikat dan tak pernah lepas dari upacara ini. Karena dengan adanya Salonde ini maka prosesi penyembuhan lebih terlihat sakral.

Salonde berasal dari bahasa Kaili Kuno yang artinya ragam tari-tarian. Disebut ragam tari-tarian karena didalamnya termuat begitu banyak unsur gerak yang ritmis, lincah, dinamis dan memiliki makna yang besar. Gerak-gerak tersebut memiliki nilai estetis yang sangat menarik, dibagi dalam 7 (tujuh) bagian yang tidak boleh ditinggalkan dalam upacara balia namun boleh ditarikan secara terpisah ;

1. Kabiondo : artinya petikan sendu. Gerakannya pelan, lemah gemulai, penuh perasaan, proses awal dimana Tina Nu Balia mulai membuka selendang yang menutupi wajahnya dan wajah si pesakitan.

2. Kancara : artinya melambai, bisa juga diartikan sebagai perahu yang tertiup angin. Gerakannya sangat cepat sesuai dengan irama gimba (gendang) sambil memainkan selendang.

3. Saramapede : artinya melenting. Gerakannya dominan dibagian kaki dengan membanting-bantingkan kaki secara cepat dan dinamis.

4. Sarondayo : artinya lincah. Gerakannya lincah, cepat dan energik, proses dimana pesakitan sudah mulai dimasuki roh. Gerakan awal bagi pesakitan untuk memainkan kipasnya.

5. Torodae-dae : artinya berputar. Berakannya cepat, berputar-putar secara tak beraturan, berayun-ayun dari mulai duduk sampai ia dalam posisi berdiri .

6. Tambilugi : artinya rata. Gerakannya datar, tidak cepat tetapi juga tidak lambat, proses dimana ia kembali pada posisi duduk.

7. Tutupendo : artinya penutup. Gerakan sudah sangat pelan, dimana pesakitan yang kesurupan tadi bergerak sangat pelan dan langsung terdiam. Ia dianggap telah sembuh dari penyakitnya karena telah berhasil mengusir roh-roh jahat dalam tubuhnya.


Ada begitu banyak gerak-gerak yang tercipta dari upacara ini dan tubuh menjadi sumber utamanya. Tubuh tari seperti ini membuat kerja koreografi dan kerja tubuh penari mengalami kesulitan besar untuk berhubungan dengan tema-tema tradisi-kontemporer.

Jika diolah secara bertahap, gerak-gerak ini sulit untuk diterjemahkan secara cepat. Hanya beberapa koreografer saja yang sanggup untuk membahasakannya lewat tarian pertunjukkan karena didasari gerakan yang kuat, cepat, lincah dan dinamis serta memposisikan tubuh sebagai objek tunggal bergerak tanpa henti. Estetika tubuh sangat tergantung dari banyaknya gerakan yang masuk dalam satu komposisi tari. Wacana tari sulit untuk tumbuh dalam budaya tubuh seperti itu. Pengaruh kuat modernisasi membawa gerak-gerak yang radikal yang memilik dampak besar bagi sakralnya upacara balia. Reproduksi sikap tubuh ini, terikat pada teknik, karena tidak mudah untuk membongkar atau mengubah pola tatanan gerak didalam Balia tersebut, dimana dasar gerak melingkar, berpegangan tangan serta menyatukan nafas untuk membawa tubuh ke tingkat ritual yang mendalam dengan kekuatan fisik sang penari tidak bisa dilakukan hanya dengan proses sebentar saja. Dibutuhkan intensitas dan ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang mengalir. Balia menghadirkan “tubuh rakyat” dalam setiap gerakannya yang bernilai magis, masih bersifat tradisi.

Para koreografer/penata tari akan memutar otaknya setiap kali mengikuti pesta tari atau festival tari untuk mengeluarkan secara paksa kekayaan tradisi Balia. Bahwa tubuh penari hampir kehilangan kosmologinya jika “tubuh mitos” dalam unsur gerak balia dihadirkan dalum balutan tradisi-kontemporer diatas panggung pertunjukkan, namun tidak dapat dipungkiri masuknya modernisasi ke dalam unsur gerak balia melahirkan eksotika tubuh yang lebih bernilai. Kepuasan tubuh dalam mengeksplorasi sumber gerak balia, tidak dapat ditutupi dari keseragaman penari dan upaya memaksimalkan tubuh untuk bergerak secara total. Tubuh pun siap menerima teknik dan memakai kostum tradisi apa pun, karena tubuh telah mengalami transformasi lewat tradisi.

Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja antropologi. Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropolog yang artifisial, walaupun pasar membutuhkannya. Dunia tari –yang dianggap sebagai seni yang paling dekat dengan manusia, karena menggunakan tubuh- punya masalah yang jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya. Balia telah menjadi fenomena dipanggung tari dan ditansformasikan kedalam konsep kekinian atau yang dinamakan kontemporer. Balia tak lagi ditarikan secara serempak (massal), tetapi lebih banyak ditarikan secara tunggal ataupun berkelompok ( hanya 5 - 7 penari) berusaha untuk mengubah tradisi. Kehadiran performance art, menjadi wacana baru bagi dunia tari khususnya tradisi yang mencoba masuk untuk menyatu dalam konsep tari modern. Bagaimana menjadikan balia sebagai unsur gerak tradisi yang tak lepas dari estetika tubuh penari dalam pandangan modernisasi pada panggung-panggung seni pertunjukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar